• Biografi Tokoh Islam

    Kumpulan Biografi Para Tokoh Islam Ternama dan Sejarah Perkembangan Islam Dunia

  • Biografi Penemu Dunia

    Kumpulan Biografi Para Penemu Terkenal di Dunia dan Sejarah Pertama Penemuannya

  • Biografi Pahlawan Indonesia

    Kumpulan Biografi Para Pahlawan Nasional Indonesia dan Sejarah Perjuangan Indonesia

Showing posts with label Sulawesi Selatan. Show all posts
Showing posts with label Sulawesi Selatan. Show all posts

Profil BJ Habibie atau Baharuddin Jusuf Habibie

BJ Habibie Meninggal DuniaProf. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng (lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936; umur 83 tahun) adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Sebelumnya, B.J. Habibie menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia ke-7, menggantikan Try Sutrisno. B. J. Habibie menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. B.J. Habibie kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai presiden pada 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil Pemilu 1999. Dengan menjabat selama 2 bulan dan 7 hari (sebagai wakil presiden) dan juga selama 1 tahun dan 5 bulan (sebagai presiden), B. J. Habibie merupakan Wakil Presiden dan juga Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek.

Dari sekian banyak presiden Indonesia, B. J. Habibie merupakan satu-satunya Presiden yang berasal dari etnis Gorontalo, Sulawesi dari garis keturunan Ayahnya yang berasal dari Kabila, Gorontalo dan etnis Jawa dari ibunya yang berasal dari Yogyakarta. Saat ini, Pemerintah Provinsi Gorontalo telah menginisiasi dibangunnya Monumen B.J. Habibie di depan pintu gerbang utama Bandar Udara Djalaluddin, di Kabupaten Gorontalo. Selain itu, masyarakat Provinsi Gorontalo pun sempat mengusulkan nama B.J. Habibie digunakan sebagai nama universitas negeri setempat, menggantikan nama Universitas Negeri Gorontalo yang masih digunakan.

Habibie mewarisi kondisi keadaan negara kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto pada masa orde baru, sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegerasi hampir seluruh wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

Pada era pemerintahannya yang singkat ia berhasil memberikan landasan kukuh bagi Indonesia, pada eranya dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai Politik dan yang paling penting adalah UU otonomi daerah. Melalui penerapan UU otonomi daerah inilah gejolak disintegrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya dituntaskan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU otonomi daerah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.

Pengangkatan B.J. Habibie sebagai Presiden menimbulkan berbagai macam kontroversi bagi masyarakat Indonesia. Pihak yang pro menganggap pengangkatan Habibie sudah konstitusional.[32] Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "bila Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa pengangkatan B.J. Habibie dianggap tidak konstitusional. Hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "sebelum presiden memangku jabatan maka presiden harus mengucapkan sumpah atau janji di depan MPR atau DPR".

Yusuf Al-Makasari - Tuanta Salamaka ri Gowa

Yusuf Al-MakassariSyekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa ("tuan guru penyelamat kita dari Gowa") oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.

Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin (Berkuasa sejak 1593 - wafat 15 Juni 1639, penguasa Gowa pertama yang muslim), raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf. Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.

Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qadiriyah.[butuh rujukan]

Pada tahun 1644, Syech Yusuf menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah untuk beberapa lama, dimana Ia belajar kepada ulama terkemuka di Mekkah dan Madina. Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Syech Yusuf mempelajari Islam sekitar 20 tahun di Timur Tengah.

Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syekh Yusuf pindah ke Banten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, dan Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai. Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilanka pada bulan September 1684.

Masa pembuangan

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan.[butuh rujukan] Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi'an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'.

Makam & Gelar Pahlawan Nasional

Jenazah Syekh Yusuf Tajul Khalwati dibawa ke Gowa atas permintaan Sultan Abdul Jalil (1677-1709) dan dimakamkan kembali di Lakiung, pada April 1705. Kemudian Syekh Yusuf Allahu yarham dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto dengan SK Presiden : Keppres No. 071/TK/1995, Tgl. 7 Agustus 1995.[4] Pada tahun 2009, Syech Yusuf dianugerahi penghargaan Oliver Thambo yaitu penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki kepada ahli warisnya yang disaksikan oleh Wapres RI. M. Yusuf Kalla di Pretoria Afrika Selatan. Syech Yusuf menulis beberapa risalah sufisme berbahasa Arab dan Lontar.

Biografi Andi Sose Putra Bangsawan Enrekang

Andi Sose Putra Bangsawan Enrekang Wafat Meninggal DuniaAndi Sose yang lahir 15 Maret 1930 adalah mantan pejuang Angkatan 45 dan pengusaha kaya yang dermawan dan sangat dikenal di sekitar Makassar, Enrekang, dan Tana Toraja. Andi Sose yang berasal dari kampung bernama Sossok di kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang. Tak jauh dari kampung halaman Sose, ada daerah bernama Baraka yang pernah jadi markas Kahar Muzakkar pada 1950-an. Tidak jauh dari situ, ada suatu tempat yang disebut Alla—pernah menjadi daerah perlawanan Pong Tiku melawan pemerintaha kolonial Belanda. Ayah Sose adalah Puang Liu dan ibunya adalah Andi Sabbe. Puang adalah gelar terhormat di kawasan itu. Setelah belajar di Volkschool (sekolah rakyat yang cuma tiga tahun) di Anggeraja, Sose melanjutkan ke Schakelschool (sekolah rendah lanjutan) di Makale, Tana Toraja.

Sose kecil bergaul dengan anak dari semua kalangan. Sekolahnya tak berjalan mulus. Di kelas 2, Jepang datang. Setelah itu, Sose pindah ke Makassar untuk pendidikan yang lebih baik meskipun berantakan. Sose sempat belajar sekolah menengah yang disebut Tokubetsu Chugakko. Kawan-kawan sekolahnya antara lain Maulwi Saelan dan Andi Galib. Sose tak lama di sekolah karena Jepang keburu kalah. Di masa revolusi, Sose kemudian masuk SMP Nasional—yang dibina Sam Ratulangi—di Jalan Gowa (kini Jalan Sam Ratulangi) Makassar. Mereka yang pernah jadi guru Sose di antaranya Manai Sophian (politikus PNI dan ayah dari aktor Sophan Sophian) dan Sjamsudin (ayah dari Ma’ruf dan Sjafrie Sjamsoedin). Sose mondok di rumah Sjamsudin dan ikut bantu-bantu di rumah itu. Murid paling sohor di SMP Nasional adalah Wolter Mongisidi. Tak heran jika Sose bangga bersekolah di tempat itu.

Sose pernah ikut pasukan laskar pimpinan Daeng Bahang. Pasukan ini kemudian menjadi "Harimau Indonesia." Sose termasuk anggota penting Laskar Harimau Indonesia yang dipimpin Mongisidi. Ia juga bergabung dengan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) melawan tentara Belanda. Nama Sose tercatat pada Tugu Harimau di tengah Kota Makassar. Sose gerilya di sekitar daerah asalnya. Puang Liu sangat membantu Sose dan pasukannya ketika bergerilya melawan tentara Belanda saat revolusi. Bagi beberapa bangsawan Bugis, revolusi 1945 hingga 1949 barangkali jadi waktu tepat untuk balas-dendam melawan Belanda kembali setelah La Pawawoy, raja Bone, ditangkap Belanda dan banyak bangsawan Bugis dilumpuhkan. Pamannya Puang Tambone ikut gerilya, meninggalkan posisinya sebagai zelfbestuur (pejabat Belanda). Daerah pegunungan Enrekang jelas sangat bagus menjadi tempat gerilya melawan Tentara Belanda. Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang personelnya terbatas hanya bisa bergerak di sekitar kota-kota kecil Sulawesi Selatan. Mereka tak mampu menembus pegunungan tempat gerilyawan bersembunyi.

Sose berhasil menghimpun banyak pejuang di masa gerilya itu. Ia menjadi komandan Laskar Harimau Indonesia daerah Enrekang utara. Setelah pasukannya kuat, Sose bergerilya ke selatan Kota Enrekang. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, dan Negara Indonesia Timur dibubarkan, Pasukan Sose mulai turun gunung. Rambut Sose memanjang dan kumisnya lebat. Program pemerintah soal reorganisasi dan rasionalisasi tentara memasukkan pasukan Sose sebagai Corps Tjadangan Nasional. Setelah berontak dan masuk hutan bersama Kahar Muzakkar, pasukan Sose diakui dalam Tentara Nasional Indonesia.

Andi Sose diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai kapten pada 4 Maret 1952 dan menjadikannya komandan Batalyon 720. Ia memiliki wewenang teritorial militer di daerah Parepare, Sidrap, Wajo, Pinrang, dan Enrekang. Di masa jadi komandan pasukan inilah Sose terlibat bisnis. Dan bisnis membuat Sose kaya. Menurut Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (1989), Sose tak terikat pada satu wilayah. Ia bisa mengirim hasil bumi di sekitar Tana Toraja; beras dari Wajo dan kopra dari Parepare . Meski dicurigai masih berhubungan dekat dengan Kahar, menurut Harvey, Sose telah berusaha ikut menyelesaikan masalah Kahar dengan pemerintah pusat. Bersama Andi Rivai dan Azis Taba, Sose pernah ikut mengatur pertemuan dengan Kahar untuk mengakhiri permusuhan.

Sose, seperti juga pemimpin laskar lain macam Andi Selle, terbilang betah dengan posisinya di "pangkuan Ibu Pertiwi". Mereka berdua dicurigai punya bisnis sekaligus tetap berhubungan dengan pasukan Kahar Muzakkar. Pihak petinggi TNI tak tinggal diam. Mereka berusaha digeser dengan memindahkan Andi Sose dari Parepare dan Andi Selle dari Polewali ke staf Kodam di Makassar. Sose akan dijadikan asisten satu (Intelijen) dan Selle sebagai asisten tiga (personel). Namun, baik Sose maupun Selle tak pernah benar-benar memegang posisi itu.

Demi kelancaran operasi penumpasan Kahar Muzakkar dan pengikutnya, Panglima Kodam Hasunuddin M. Jusuf menjauhkan Sose dari jangkauan Kahar. Antara tanggal 5 April dan 15 April 1964, Sose diperintahkan ke Jakarta dan ditahan tanpa pernah diadili. Kekayaan Sose pun disita. Semua bisnisnya diambil alih Kodam Hasanuddin. Sose baru dibebaskan pada 1965 setelah Kahar dikabarkan terbunuh. Belakangan ia pensiun dengan pangkat brigadir jenderal. Kemudian, terjun ke dunia bisnis sepenuhnya. Ia makin kaya sebagai pimpinan dari Bank Marannu. Kelebihan uang membuatnya jadi dermawan di Sulawesi Selatan. Sose memiliki beberapa yayasan dan hartanya masih banyak meski banyak perusahaan miliknya yang dijual. Dia mempunyai banyak anak dari beberapa istri dan di antaranya ada yang terjun ke dunia politik.

Andi Azis - Tokoh Militer Peristiwa Andi Azis

Andi Azis - Tokoh Militer Peristiwa Andi AzisAndi Abdul Azis (lahir di Simpangbinangal, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, 19 September 1924; umur 94 tahun) adalah seorang tokoh militer Indonesia yang dikenal karena keterlibatannya dalam Peristiwa Andi Azis. Andi Azis lahir dari keluarga keturunan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada awal tahun 1930-an Andi Azis kemudian dibawa seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda ke Belanda. Pada tahun 1935 ia memasuki Leger School dan tamat tahun 1938 lalu meneruskan ke Lyceum sampai tahun 1944. Sebenarnya Andi Azis sangat berhasrat untuk memasuki sekolah militer di negeri Belanda untuk menjadi seorang prajurit tetapi niat itu tidak terlaksana karena pecah Perang Dunia II. Kemudian Andi Azis memasuki Koninklijk Leger dan bertugas sebagai tim pertempuran bawah tanah melawan Tentara Pendudukan Jerman (Nazi). Dari pasukan bawah tanah kemudian Andi Azis dipindahkan kebelakang garis pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam. Karena di Eropa kedudukan sekutu semakin terjepit, maka secara diam-diam Andi Azis dengan kelompoknya menyeberang ke Inggris, daerah paling aman dari Jerman — walaupun sebelum 1944 sering mendapat kiriman bom Jerman dari udara.

Di Inggris, ia mengikuti latihan pasukan komando di sebuah Kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Andi Azis lulus dengan pujian sebagai prajurit komando. Selanjutnya pada tahun 1945 ia mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Inggris dan menjadi sersan kadet. Pada bulan Agustus 1945, karena SEAC sedang dalam usaha mengalahkan Jepang di front timur, mereka memerlukan anggota tentara yang dapat berbahasa Indonesia, maka Andi Abdul Azis kemudian ditempatkan di komando Perang Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo dan akhirnya ke Calcutta dengan pangkat Sersan. Seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga orang Indonesia yang ikut serta dalam perang Dunia II di front Barat Eropa. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu, Andi Azis diperbolehkan memilih tugas apakah yang akan diikutinya, apakah ikut satuan-satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau yang akan bertugas di gugus selatan (Indonesia). Dengan pertimbangan bahwa telah 11 tahun tidak bertemu orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya ia memilih bertugas ke Indonesia, dengan harapan dapat kembali dengan orang tuanya di Makassar.

Andi Azis - Tokoh Militer Peristiwa Andi AzisPada tanggal 19 Januari 1946 satuannya mendarat di Jawa (Jakarta), waktu itu ia menjabat komandan regu, kemudian bertugas di Cilincing. Pada tahun 1947 mendapat kesempatan cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Setelah itu ia kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo, pertengahan 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL dan diberi pangkat Letnan Dua. Selanjutnya ia menjadi Ajudan Senior, Sukowati (Presiden NIT). Jabatan ini dijalaninya hampir satu setengah tahun, kemudian ia ditugaskan sebagai salah seorang instruktur di Bandung-Cimahi pada pasukan SSOP—sekolah pasukan payung milik KNIL bernama School tot Opleiding voor Parachusten—(Baret Merah KNIL) dalam tahun 1948. Pada tahun 1948 Andi Azis dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dengan 125 orang anak buahnya (KNIL) yang berpengalaman dan kemudian masuk TNI. Dalam susunan TNI (APRIS) kemudian ia dinaikan pangkatnya menjadi kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak mengalami perubahan anggotanya. Pasukan dari kompi yang dipimpinnya itu bukan pasukan sembarangan karena Kemampuan tempur pasukan itu diatas standar pasukan reguler Belanda dan juga TNI. Pada saat itu daerah Cimahi adalah daerah dimana banyak prajurit Belanda dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Ditempat ini setidaknya ada dua macam pasukan khusus Belanda dilatih: pasukan Komando (baret hijau); pasukan penerjun (baret merah). Andi Azis kemungkinan melatih pasukan komando—sesuai pengalamannnya di front Eropa.

Pasukan Andi Azis ini akhirnya menjadi salah satu punggung pasukan pemberontak APRIS selama bulan April sampai Agustus di Makassar — disamping pasukan Belanda lain yang desersi dan tidak terkendali. Seperti yang terjadi dalam pemberontakan APRA Westerling yang terlalu mengandalkan pasukan khusus Belanda Regiment Speciale Troepen — yang pernah dilatih Westerling — maka dalam pemberontakan Andi Azis hampir semua unsur pasukan Belanda terlibat terutama KNIL non pasukan komando. Dari hasil pemeriksaan Aziz dalam sidang militer yang digelar tiga tahun kemudian (1953), saksi mantan Presiden NIT Sukawati dan Let.Kol Mokoginta tidak banyak meringankan terdakwa yang pada ahirnya dihukum penjara selama 14 tahun. Dalam persidangan tersebut terdakwa mengaku bersalah, tidak akan naik appel tetapi merencanakan minta grasi kepada Presiden.

Andi Sultan Daeng Radja Pahlawan Makassar

Andi Sultan Daeng Radja Pahlawan MakassarHaji Andi Sultan Daeng Radja (lahir di Matekko, Gantarang, Bulukumba, 20 Mei 1894 – meninggal di Rumah Sakit Pelamonia Makassar, Sulawesi Selatan, 17 Mei 1963 pada umur 68 tahun) adalah seorang tokoh kemerdekaan Indonesia dan pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan. Ia adalah putra pertama pasangan Passari Petta Tanra Karaeng Gantarang dan Andi Ninong. Semasa muda, Sultan Daeng Radja dikenal taat beribadah dan aktif dalam kegiatan Muhamamadiyah. Ia merupakan pendiri Masjid Tua di Ponre yang pada jamannya terbesar di Sulawesi Selatan.

Tahun 1902, Sultan Daeng Radja masuk sekolah Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun di Bulukumba. Tamat dari Volksschool, dia melanjutkan pendidikannya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bantaeng. Selesai mengenyam pendidikan di ELS, Sultan Daeng Radja melanjutkan pendidikannya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar. Setelah menyelesaikan pendidikannya di OSVIA pada tahun 1913, Sultan Daeng Radja yang saat itu, masih berusia 20 tahun diangkat menjadi juru tulis kantor pemerintahan Onder Afdeeling Makassar.

Bebeberapa bulan kemudian, dia diangkat menjadi calon jaksa dan diperbantukan di Inl of Justitie Makassar. Tanggal 7 Januari 1915 diangkat menjadi Eurp Klerk pada Kantor Asisten Residen Bone di Pompanua. Selanjutnya, dia dipindahkan lagi ke Kantor Controleur Sinjai sebagai Klerk. Dari Sinjai ditugaskan ke Takalar dan mendapat jabatan wakil kepala pajak. Selanjutnya ditugaskan ke Enrekang dengan jabatan kepala pajak. Tahun 1918, dia ditugaskan sebagai Inlandsche Besteur Asistant di Campalagian, Mandar.

Tanggal 2 April 1921, pemerintah mengeluarkan surat keputusan mengangkat Sultan Daeng Radja menjadi pejabat sementara Distrik Hadat Gantarang menggantikan Andi Mappamadeng Daeng Malette yang mengundurkan diri karena tidak bisa bekerjasama lagi dengan pemerintah kolonial Belanda. Pengunduran diri Andi Mappamadeng tersebut hingga kini masih menjadi kontroversi, sebab Andi Mappamadeng Daeng Malette merupakan sepupu satu kali dari Sultan Daeng Radja. Pada waktu itu pula, Sultan Daeng Radja mendapat kepercayaan menjadi pegawai pada kantor Pengadilan Negeri (Landraad) Bulukumba.

Kembalinya Andi Sultan Daeng Radja ke Bulukumba, mendorong Dewan Hadat Gantarang (Adat Duapulua) mengadakan rapat memilih calon kepala adat. Rapat tersebut kemudian memutuskan Andi Sultan Daeng Radja menjadi Regen (Kepala Adat) Gantarang. Jabatan ini diembannya hingga pemerintahan Belanda menyatakan pengakuannya atas kedaulatan Republik Indonesia.

Tahun 1930, Andi Sultan Daeng Radja mendapat kehormatan menjadi Jaksa pada Landraad Bulukumba. Setelah proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pemerintah NICA menuduh Andi Sultan Daeng Radja terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI sehingga ia tidak lagi digunakan sebagai pemerintah.

NICA kemudian menahan dan mengasingkan Sultan Daeng Radja ke Menado, Sulawesi Utara. Tanggal 8 Januari 1950, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan RI oleh Pemeritah Belanda, Sultan Daeng Radja kemudian dibebaskan oleh Belanda dan kembali ke Bulukumba. Pada 1 Juli 1950 Andi Sultan Daeng Radja mundur dari jabatannya sebagai Kepala Adat Gantarang dan digantikan oleh putranya Andi Sappewali Andi Sultan.

Setelah mundur dari jabatannya selaku Kepala Adat Gantarang, Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Keputusan tertanggal 11 Juni 1951 mengangkatnya menjadi bupati pada kantor Gubernur Sulsel. Tanggal 4 April 1955, dia ditugaskan sebagai Bupati Daerah Bantaeng dan diangkat menjadi pegawai negeri tetap.

Tahun 1956, Sultan Daeng Radja diangkat menjadi residen diperbantukan pada Gubernur Sulsel sesuai keputusan presiden. Setahun kemudian dia diangkat menjadi Anggota Konstituante. Andi Sultan Daeng Radja wafat pada 17 Mei 1963 di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dalam usia 70 tahun. Semasa hidupnya, Andi Sultan Daeng Radja memiliki empat istri dan 13 anak.

Robert Wolter Monginsidi Gerilyawan Makassar

Robert Wolter Monginsidi - Gerilyawan di MakassarRobert Wolter Mongisidi (lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, 14 Februari 1925 – meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan, 5 September 1949 pada umur 24 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia. Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado. Mongisidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Mongisidi berada di Makassar. Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Mongisidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar. Pada tanggal 17 Juli 1946, Mongisidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya melecehkan dan menyarang posisi Belanda. Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947. Belanda menangkapnya kembali dan kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Mongisidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949. Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.

Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973. Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut. Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan kepada Mongisidi, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi dan Yonif 720/Wolter Monginsidi.

Ranggong Daeng Romo - Pahlawan dari Sulsel

Ranggong Daeng RomoRanggong Daeng Romo (lahir kampung Bone-Bone, Polongbangkeng, Sulawesi Selatan, 1915, wafat markas besar Lapris, Langgese, 27 Februari 1947) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia dari Sulawesi Selatan. Ia menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsch School dan Taman Siswa di Makassar setelah sebelumnya menimba ilmu agama di salah satu pesantren di Cikoang. Ia bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan pembelian padi milik pemerintah militer Jepang ketika menduduki Sulawesi.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Ranggong dinobatkan menjadi salah satu orang yang memprakarsai berdirinya organisasi perjuangan di Polombangkeng oleh Karaeng Pajonga Daeng Ngalle, Gerakan Muda Bajeng (GMB). Sebelumnya, Ranggong sempat bergabung dengan barisan pemuda Seinendan dan diangkat menjadi pemimpin Seinendan di Bontokandatto.

Ranggong Daeng RomoBergabung dengan GMB, Ranggong diangkat menjadi komandan barisan pertahanan untuk wilayah Moncokomba dan merangkap sebagai Kepala Wilayah Ko'Mara. Hingga pada 2 April 1946, GMB berubah nama menjadi Laskar Lipan Bajeng dimana tujuan dari organisasi adalah menegakkan, membela, dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di Laskar Lipan Bajeng, suami dari Bungatubu Daeng Lino ini diangkat sebagai pimpinan. Bersama dengan laskar-laskar yang ada di Sulawesi Selatan, melalui satu pertemuan, akhirnya laskar-laskar tersebut bergabung menjadi Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (Lapris) dan Ranggong diberi kepercayaan penuh untuk memimpin dan menjadi panglima.

Pada 21 Februari 1946, Ranggong memimpin perang pertama kalinya dengan kekuatan lebih kurang seratus pasukan menyerang pertahanan Belanda. Serangan tersebut dilakukan di sebelah Selatan Makassar serta menimbulkan kesengitan yang luar biasa di antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran tersebut, banyak tokoh Lapris yang meninggal dalam perang termasuk Ranggong yang terbunuh pada 27 Februari 1947. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Bangkala. Berkat jasa-jasanya pada negara, berdasarkan SK Presiden RI No. 109/TK/Tahun 2001 Ranggong dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Pong Tiku - Pemimpin dan Gerilyawan Toraja

Pong Tiku - Pemimpin dan Gerilyawan TorajaPong Tiku (atau Pontiku dan Pongtiku; 1846 – 10 Juli 1907), dikenal dengan nama Ne' Baso, adalah pemimpin dan gerilyawan Toraja yang beroperasi di Sulawesi bagian selatan, sekarang bagian dari Indonesia. Tiku adalah putra penguasa Pangala'. Setelah Tiku menduduki kerajaan Baruppu', ia menjadi raja, lalu menguasai Pangala' setelah ayahnya meninggal dunia. Lewat perdagangan kopi dan persekutuan dengan Suku Bugis di dataran rendah, Tiku mendapatkan kekayaan, tanah, dan kekuasaan yang besar.

Semasa Perang Kopi (1889–1890), kota Tondon diserang oleh penguasa lain, namun direbut kembali pada hari yang sama. Ketika pasukan Belanda menyerbu Sulawesi pada awal 1900-an, Tiku dan pasukannya melancarkan serangan dari benteng. Ia ditangkap pada bulan Oktober 1906. Bulan Januari 1907, ia kabur dan menjadi buronan sampai Juni tahun itu. Ia dieksekusi mati beberapa hari setelah tertangkap.

Tiku merupakan pemimpin pemberontakan terlama di Sulawesi. Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz menganggap Tiku sebagai ancaman bagi kestabilan pemerintahan Belanda di kawasan itu. Van Heutsz mengutus Gubernur Sulawesi untuk memimpin penangkapannya. Sejak kematiannya, Tiku menjadi simbol pemberontakan Toraja. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2002.

Setelah kematian Tiku, pemerintah kolonial berharap ia dilupakan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Tandibua' memberontak pada tahun 1917, dan kantong perlawanan kecil bertahan di sejumlah wilayah Sulawesi hingga Belanda terusir akibat pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan, pasukan Jepang menggunakan Tiku sebagai simbol perjuangan Toraja terhadap agresi kolonial dan berusaha menyatukan rakyat untuk melawan bangsa Eropa. Akan tetapi, strategi ini gagal di wilayah-wilayah taklukan seperti Baruppu' dan Sesean yang mengenang Tiku sebagai sosok pembunuh dan penculik istri orang.

Pemerintah Kabupaten Tana Toraja mengangkat Tiku sebagai pahlawan nasional pada tahun 1964. Tahun 1970, tugu penghormatan Tiku didirikan di tepi sungai Sa'dan. Tiku dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Dekret Kepresidenan 073/TK/2002 tanggal 6 November 2002. Pada hari peringatan kematian Tiku, upacara khusus diselenggarakan di ibu kota Sulawesi Selatan, Makassar. Selain jalan raya, bandara di Tana Toraja juga diberi nama Pong Tiku.

Pajonga Daeng Ngalie - Karaeng Polongbangkeng

Pajonga Daeng Ngalie - Karaeng PolongbangkengPajonga Daeng Ngalle (lahir di Takalar, Sulawesi Selatan, 1901; meninggal dunia di Takalar, Sulawesi Selatan, 23 Februari 1958) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia dan juga seorang Karaeng (kepala pemerintahan distrik) Polongbangkeng pada tahun 1934. Pada bulan Oktober 1945 bersama dengan seluruh bangsawan Sulawesi Selatan, ia mengikuti konferensi raja-raja Sulawesi Selatan di Yogyakarta. Konferensi memutuskan satu tekad untuk mendukung pemerintahan RI di Sulawesi sebagai satu-satunya pemerintah yang sah di bawah Gubernur Sam Ratulangi. Pajonga Ngalle mengumuknan bahwa daerahnya merupakan bagian dari wilayah Indonesia.

Tak banyak yang mengetahui nama Karaeng Polombangkeng Pajonga Daeng Ngalle sebagai salah satu pejuang asal Sulawesi yang sangat ditakuti penjajah Belanda. Atas keberaniannya pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh asal Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, baru-baru ini. Kendati cukup dikenal warga Takalar, tak banyak catatan sejarah yang dapat ditemukan tentang Pajonga Daeng Ngalle. Warga hanya mengetahui tokoh yang dilahirkan 1901 ini adalah putra Raja Polombangkeng yang bernama Daeng Masaung. Selain itu, almarhum juga menjadi teladan keberanian dalam melawan penindasan dan ketidakadilan. Nama Pajonga mulai dikenal saat mengajak puluhan raja di Sulawesi mendukung kemerdekaan Indonesia.

Dirinya juga menolak mengakui Negara Indonesia Timur yang dibentuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook. Bersama Wolter Monginsidi, Pajonga memimpin raja-raja Sulawesi saat itu melawan tentara Belanda dengan membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Pajonga tak berhenti karena Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia. Ruang gerak Pajonga di Makassar dipersempit sehingga dia pindah ke Takalar. Tentara Belanda menangkapnya pada 1946 namun dibebaskan setelah kemerdekaan Indonesia diakui lewat Konferensi Meja Bundar. Meski nama Pajonga nyaris dilupakan, kebanggaan warga Takalar terhadap sosok pejuang ini tak pernah hilang.

Opu Daeng Risadju - Pejuang Wanita Sulsel

Opu Daeng Risadju pejuang wanita asal Sulawesi SelatanOpu Daeng Risadju adalah pejuang wanita asal Sulawesi Selatan yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Opu Daeng Risaju memiliki nama kecil Famajjah. Opu Daeng Risaju itu sendiri merupakan gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang disematkan pada Famajjah memang merupakan anggota keluarga bangsawan Luwu. Opu Daeng Risaju merupakan anak dari Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng yang lahir di Palopo pada 1880. Tidak seperti bangsawan pada umumnya, meskipun berasal dari keluarga bangsawan, Opu Daeng Risaju tidak pernah mengecap pendidikan Barat. Pendidikan yang didapat oleh Opu Daeng Risaju lebih ditekankan pada persoalan yang menyangkut ajaran dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama.

Ia juga mendapatkan pendidikan mengenai tata cara kehidupan bangsawan baik di dalam istana maupun di luar lingkungan istana, sebagaimana yang berlaku dalam tradisi keluarga bangsawan. Opu Daeng Risaju juga mendapatkan pengajaran terkait tata cara kepemimpinan, bergaul, berbicara, dan memerintah rakyat kebanyakan. Selain mempelajari moral yang berlandaskan adat kebangsawanan, Opu Daeng Risaju juga mempelajari peribadatan dan akidah dalam agama Islam. Dalam tradisi Luwu itu sendiri, agama dan budaya merupakan satu kesatuan. Karenanya, sejak kecil Opu Daeng Risaju terbiasa membaca Al-Quran hingga tamat dan mempelajari ilmu-ilmu keagamaan seperti nahwu, syaraf dan balagah. Opu Daeng Risaju juga mempelajari fiqih dari buku karangan Khatib Sulaweman Datuk Patimang, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan. Opu Daeng Risaju tidak sendiri dalam mempelajari Islam, melainkan dibimbing juga oleh seorang ulama.

Suami Opu Daeng Risaju, H. Muhammad Daud, merupakan seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah. Suami Opu Daeng Risaju ini merupakan anak dari rekan dagang ayahnya. H. Muhammad Daud kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu karena menikah dengan keluarga bangsawan dan memiliki pengetahuan yang luas tentang agama. Opu Daeng Risaju juga merupakan wanita yang aktif dalam Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII). Opu Daeng Risaju kemudian mendirikan cabang PSII Palopo yang diresmikan pada 14 Januari 1930. Opu Daeng Risaju terpilih sebagai ketua PSII Palopo dalam rapat akbar yang dihadiri aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat, masyarakat umumnya, hingga pengurus PSII pusat yaitu Kartosuwiryo. Akan tetapi, pada masa pendudukan Jepang, tidak banyak kegiatan yang Opu Daeng Risaju lakukan di PSII. Ini disebabkan karena pemerintahan Jepang melarang adanya kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk PSII.

Opu Daeng Risaju mulai kembali aktif pada masa revolusi di Luwu. Revolusi ini diawali dengan kedatangan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di Sulawesi Selatan yang berkeinginan untuk menajajah kembali Indonesia. Pemberontakan terhadap NICA mulai terjadi pada saat tentara NICA menggeledah rumah Opu Gawe untuk mencari senjata, akan tetapi tidak menemukannya. Merasa tidak puas dengan ini, tentara NICA kemudian mendatangi masjid dan menginterogasi orang-orang di dalam masjid. Akan tetapi, karena masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan, NICA memutuskan untuk mengobrak-abrik masjid bahkan menginjak Al-Quran. Melihat hal ini, para pemuda memberikan ultimatum kepada tentara NICA di Palopo untuk segera kembali ke tangsinya dan tidak berkeliaran di kota. Karena ultimatum ini tidak digubris oleh tentara NICA, timbullah konflik senjata yang sangat besar antara tentara NICA dan para pemuda pada tanggal 23 Januari 1946. Konflik senjata ini kemudian merambat ke kota-kota lainnya di Palopo, salah satunya ialah kota Beloppa tempat Opu Daeng Risaju tinggal. Peran Opu Daeng Risaju dalam perlawanan terhadap tentara NICA di Belopa sangatlah besar. Opu Daeng Risaju membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.

Tindakan ini membuat tentara NICA kewalahan dan mengupayakan berbagai cara untuk menangkap dan menghentikan aksi Opu Daeng Risaju. Tentara NICA bahkan membuat pengumuman yang menyatakan bahwa pihak tentara NICA akan memberikan imbalan pada siapa pun yang dapat menangkap Opu Daeng Risaju yang kala itu sedang bersembunyi, baik dalam keadaan hidup atau pun mati. Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang menggubris pengumuman tersebut. Opu Daeng Risaju kemudian tertangkap oleh tentara NICA di Lantoro dan dibawa menuju Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju lalu ditahan di penjara Bone selama satu bulan tanpa diadili, kemudian dipindahkan ke penjara Sengkan, lalu dipindahkan lagi ke Bajo. Saat di Bajo, Opu Daeng Risaju mengalami penyiksaan oleh Kepala Distrik Bajo, Ladu Kalapita. Di sana, Opu Daeng Risaju dibawa ke sebuah lapangan dan dipaksa untuk berdiri tegap menghadap matahari. Kalapita lalu mendekati Opu Daeng Risaju yang kala itu berusia 67 tahun dan meletakkan laras senapannya pada pundak Opu Daeng Risaju. Kalapita kemudian meletuskan senapannya dan mengakibatkan Opu Daeng Risaju jatuh tersungkur di antara kedua kaki Kalapita yang masih berusaha menendangnya.

Setelah penyiksaan itu, Opu Daeng Risaju kembali dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang mirip penjara darurat bawah tanah. Akibat penyiksaan yang dilakukan Kalapita ini, Opu Daeng Risaju menjadi tuli seumur hidup. Opu Daeng Risaju kemudian dibebaskan tanpa diadili setelah 11 bulan menjalani tahanan. Opu Daeng Risaju kemudian kembali ke Bua dan menetap di Belopa. Pada tahun 1949, setelah kedaulatan RI mendapat pengakuan, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud. Dalam PSII pun Haji Abdul Kadir Daud tak lagi aktif sejak 1950 dan hanya menjadi sesepuh di organisasi tersebut. Opu Daeng Risaju wafat di usianya yang ke 84, tepatnya pada 10 Februari 1964. Pemakamannya dilakukan di perkuburan raja-raja Lokkoe di Palopo tanpa ada upacara kehormatan, sebagaimana yang biasanya dilakukan terhadap sosok pahlawan yang wafat.

Andi Mappanyukki - Pejuang Sulawesi Selatan

Andi Mappanyukki - Pejuang Sulawesi SelatanAndi Mappanyukki (lahir 1885 - meninggal 18 April 1967) adalah salah tokoh pejuang dari Sulawesi Selatan. Ia adalah Putra dari Raja Gowa ke XXXIV yaitu I'Makkulau Daeng Serang Karaengta Lembang Parang Sultan Husain Tu Ilang ri Bundu’na (Somba Ilang) dan I Cella We'tenripadang Arung Alita, putri tertua dari La Parenrengi Paduka Sri Sultan Ahmad, Arumpone Bone. Andi Mappanyukki mempunyai seorang istri yaitu I Mane'ne Karaengta Ballasari. Ia juga mempunyai beberapa anak antara lain

Andi Bau Tenri Padang Opu Datu (P) Istri dari Andi Djemma Datu Luwu
Andi Bau Datu Cella Bone (P)
Andi Bau Tenri Datu Bau (p)
Andi Bau Parenrengi Datu Lolo (L)
Andi Bau To'Appo Datu Appo (L)
Andi Bau Datu Sawa (L).

Ia sejak berusia 20 tahun sudah mengangkat senjata untuk berperang mengusir kolonial Belanda, perang yang dilakoni dimasa muda itu takala mempertahankan pos pertahanan kerajaan Gowa di daerah Gunung Sari.

Pada tahun 1931 atas usulan dewan adat ia diangkat menjadi Raja Bone ke-XXXII dengan gelar Sultan Ibrahim, sehingga ia bernama lengkap Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim. Karena menolak bersekutu dengan Belanda Ia pun “di turunkan” dari sebagai raja Bone oleh kekuatan dan kekuasaan Belanda, kemudian di asingkan bersama "Istri permaisurinya I' Mane'ne Karaengta Ballasari" dan Putra Putrinya selama 3,5 tahun di Rantepao, Tana Toraja.

Andi Pangerang Petta Rani yang lahir dari Istrinya yang bernama I Batasi Daeng Taco dan dari Istrinya yang bernama Besse Bulo lahirlah Putranya yaitu Andi Abdullah Bau Massepe yang dikenal juga sebagai pejuang kemerdekaan dan mendapat gelar Pahlawan Nasional. Adapun Putrinya yang dilahirkan dari Istri Permaisurinya I Mane'ne Karaengta Balla Sari Bernama Andi Bau Tenri Padang Opu Datu ikut berjuang bersama suaminya Andi Djemma Datu Luwu (Raja Luwu) yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Ia Mangkat pada tanggal 18 April 1967 di Jongaya (Jl. Kumala no.160 Makassar dan masih terjaga dan terawat sampai sekarang sebagai Rumah Ex. Raja Bone Andi Mappanyukki), dimana daerah ia juga dilahirkan. Makamnya tidak diletakkan di pemakaman raja-raja Gowa atau Bone lazimnya, tetapi oleh masyarakat dan pemerintah Republik Indonesia Makamnya di letakkan di Taman makam Pahlawan Panaikang Makassar (Ujung Pandang) dengan upacara kenegaraan.

La Madukelleng - Pahlawan Ksatria dari Wajo

La Madukelleng - Pahlawan Ksatria dari WajoLa Maddukkelleng (lahir: Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 - wafat: Wajo, Sulawesi Selatan, 1765) adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan istana (Arung Matowa Wajo) Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu (sambung) ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian.

Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung, (ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan) ia berhasil di negeri Pasir (Kalimantan) sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone.

La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), ia diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.

La Madukelleng adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki. Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).

Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.

Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.

La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.

Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714.

Andi Djemma - Raja Datu Luwu Sulawesi Selatan

Andi Djemma - Raja Datu Luwu Sulawesi SelatanAndi Djemma (lahir di Palopo, Sulawesi Selatan, 15 Januari 1901 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 23 Februari 1965 pada umur 64 tahun) adalah Raja (Datu) Luwu seorang tokoh Indonesia dan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 8 November 2002.

Wilayah kekuasaannya kemudian menjadi daerah setingkat kabupaten setelah beberapa wilayahnya memisahkan diri menjadi beberapa kabupaten, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Timur dan Tana Toraja, semuanya masih di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan Kolaka menjadi sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara dan Poso di Sulawesi Tengah.

Menjelang kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus 1945, Djemma bahkan memimpin 'Gerakan Soekarno Muda' dan memimpin Perlawanan Semesta Rakyat Luwu pada 23 Januari 1946. Tanggal itu sekarang diperingati sebagai Hari Perlawanan Rakyat Semesta.

Pada 5 Oktober 1945, Djemma sempat mengultimatum pihak Sekutu agar segera melucuti tentaranya dan kembali ke tangsinya di Palopo. Ultimatum itu dibalas Gubernur Jenderal Belanda, Van Mook, dengan ultimatum juga. Andi Djemma yang mempunyai lima putera itu baru tertangkap Belanda pada 3 Juli 1946 dan diasingkan ke Ternate. Ia akhirnya meninggal di Makassar pada 23 Februari 1965.

Sultan Hasanuddin Pahlawan Ayam Jantan dari Timur

Sultan Hasanuddin Pahlawan Ayam Jantan dari TimurSultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin.

Setelah menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur.

Sultan Hasanuddin lahir di Makasar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. GOWA merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.

Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia.

Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669.

Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.

Andi Abdullah Bau Massepe Bangsawan Bugis

Andi Abdullah Bau Massepe Bangsawan BugisLetnan Jenderal TNI Andi Abdullah Bau Massepe (lahir di Massepe, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, pada tahun 1918 - wafat di Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada tanggal 2 Februari 1947 pada umur 29 Tahun) adalah pejuang heroik dari daerah Sulawesi Selatan. Ia merupakan Panglima pertama TRI Divisi Hasanuddin dengan pangkat Letnan Jendral. Ia dianugerahi gelar Pahlawan nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.

Andi Abdullah Bau Massepe adalah putra dari Andi Mappanyukki (salah satu pahlawan Nasional dari Sulawesi Selatan) dan ibunya Besse Bulo (putri Raja Sidenreng) di daerah Massepe, Kabupaten Sidenreng Rappang. (Massepe dahulunya merupakan salah satu pusat kerajan Addatuang (kerajaan) Sidenreng. Beliau adalah pewaris tahta dari dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Bone dan Gowa. Ia juga merupakan pewaris tahta dari lima kerajaan di sebelah barat Danau Sidenreng yaitu Suppa, Allita, Sidenreng Rappang dan Sawito.

Bau Massepe merupakan anak Raja dari Kerajaan Bone yakni Andi Mappanyukki yang juga seorang pejuang dari Sulawesi Selatan pada tanggal 10 November 2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Semasa hidupnya Bau Massepe tiga kali beristri.

Istri yang pertama bernama Andi Maccaya melahirkan putri bernama Andi Habibah,
Istri yang kedua bernama Linge Daeng Singara melahirkan
seorang putra yang bernama Andi Ibrahim dan
seorang putri bernama Bau te’ne.
Pada tahun 1933 menikah dengan Andi Soji Petta Kanje’ne yang kemudian dianugerahi putra-putri yang masing-masing bernama:
Bau Kuneng,
Bau Amessangeng,
Bau Dala Uleng dan
Bau Fatimah.

Semasa hidupnya pernah mengecap pendidikan formal pada Sekolah Rakyat selama 1 tahun (1924), HIS (Hollands Inslander School (selesai 1932). Jabatan/Keorganisasian yang pernah dilakoni oleh Beliau anatara lain; Datu Suppa tahun 1940, Bunken Kanrekan Pare-Pare, Ketua Organisasi SUDARA Pare-Pare, Ketua Pusat Keselamatan Rakyat Penasehat Pemuda/Pandu Nasional Indonesia, Ketua Umum BPRI (Badan Penunjang Republik Indonesia), Kordinator perjuangan bersenjata bagi pemuda didaerah sekitar Pare-Pare
Kematian

Andi Abdullah Bau Massepe wafat ditembak oleh pasukan Mayor Raymond Westerling -Korps Baret Merah Belanda- pada tanggal 2 Februari 1947 setelah ditahan selama 160 hari. Wafat 10 hari sesudah konferensi Pacekke (tanggal 20 Januari 1947). Makam beliau dapat ditemukan di Taman Makam Pahlawan kota Pare-Pare (110 kilometer utara Kota Makassar).
Pejuang yang teguh

Beliau diakui sebagai pejuang yang teguh pendirian dan berani berkorban demi tegaknya NKRI. Hal ini diakui oleh Westerling yang disampaikan kepada istrinya, A. Soji Petta Kanjenne, dia berkata; “suamimu adalah jantan dan laki-laki pemberani. Ia bertanggung jawab atas semua tindakannya, tidak mau mengorbankan orang lain demi kepentingan sendiri, sikap jantan ini sangat saya hormati.”