Kiras Bangun adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Kiras Bangun menggalang kekuatan lintas agama di Sumatera Utara dan Aceh untuk menentang penjajahan Belanda. Dia merupakan ulama kelahiran 1852, kampung Batu Karang, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kerjasama yang digalang tersebut menghasilkan pasukan yang disebut pasukan Urung yang beberapa kali terlibat pertempuran dengan Belanda di Tanah Karo. Kiras juga memimpin gerakan bawah tanah di daerah tersebut.
Kiras yang juga dikenal dengan nama Garamata itu akhirnya dibuang ke Cipinang bersama kedua anaknya antara tahun 1919-1926. Kiras gugur pada 22 Oktober 1942 dan dimakamkan di Desa Batukarang, Payung, Kabupaten Karo. Kiras Bangun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.
Kiras Bangun menggalang kekuatan lintas agama dan lintas suku di Sumatra Utara dan Aceh, untuk menentang penjajahan Belanda. Beliau merupakan tokoh dan sesepuh adat Karo kelahiran tahun 1852, di kampung Batu Karang, Kabupaten Karo, Sumatra Utara.
Dalam melakukan perjuangan dengan melawan penjajahan Belanda, beliau melakukan Kerjasama yang digalang dari lintas etnis dan agama yang menghasilkan pasukan yang disebut pasukan Urung, yang beberapa kali terlibat pertempuran dengan Belanda di Tanah Karo. Kiras Bangun alias Garamata lahir dari seorang ayah yang menguasai adat-istiadat Karo di daerahnya Batukarang. Ayahnya memiliki 3 orang istri. Kiras Bangun 5 bersaudara,1 orang perempuan dan 4 orang laki-laki.
Pada masa mudanya Kiras Bangun di sekolahkan di Binjai dan menguasai bahasa Melayu serta aksara Karo. Sejak berusia muda, Kiras Bangun dikenal sebagai Tokoh yang bijak melakukan pembelaan, terhadap hak-hak rakyat yang ingin dirampas oleh penjajahan kolonial Belanda, yang menjajah bangsanya.
Tahun 1901 Belanda membuka Markasnya di Kabanjahe, Kiras Bangun bersama pasukannya mengusirnya dengan paksa. Tahun 1902 Belanda datang kembali ke Kabanjahe, dengan pasukan yang lebih banyak. Kiras Bangun mengultimatum Belanda agar segera meninggalkan Tanah Karo, dalam kaitan itu, Kiras Bangun menyusun strategi peperangan. Karena kedudukan musuh di Kabanjahe, maka disusun benteng pertahanan terdepan, yang merupakan garis pertahanan sepanjang jalan Surbakti-Lingga Julu (Kabanjahe Selatan) dan sepanjang jalan Kandibata-Kacaribu (Kabanjahe Barat) sedangkan pucuk pimpinan (Pos Komando) Garamata berkedudukan di Beganding (Kabanjahe Tenggara) untuk memudahkan pelaksanaan komando.
Ultimatum Garamata kepada pejabat Belanda Guillaume yang sudah menduduki Kabanjahe, untuk kedua kalinya tidak mendapat tanggapan, bahkan mendatangkan pasukan atau marsuse Belanda lebih banyak lagi. Serdadu Belanda dengan pengawalnya yang terdiri dari pribumi, yang sudah di rekrut Belanda untuk melawan bangsanya sendiri, sudah diperkuat lagi dari kekuatan sebelumnya.
.
Patroli-patroli Belanda menghadapi perlawanan pasukan Urung mengakibatkan terjadinya tembak-menembak. Dimaklumi memang bahwa daya tempur pasukan Simbisa/Urung terbatas pada tembak lari atau sergap “bacok lari”, kemudian berbaur dengan masyarakat setempat. Begitu pula benteng-benteng pertahanan dengan senjata pedang, parang, tombak, bedil locok dan senapang mesiu yang sederhana dan yang terbatas tidak mendukung untuk bertahan lama. Adapun tembak-menembak terjadi tidak seimbang dan pihak Belanda memiliki senjata yang lebih mutakhir sedangkan di pihak Simbisa atau pasukan Urung mempunyai senjata yang kalah jauh dari perlengkapan Belanda.
Satu demi satu benteng pertahanan pasukan Simbisa/Urung dapat dikuasai musuh, seperti benteng pertahanan Lingga Julu, meminta korban jiwa, termasuk pimpinan pasukannya tewas tertembak. Pertempuran pada tanggal 15 September 1904, mengakibatkan benteng pertahanan Kandibata yang dibantu pasukan dari Aceh Tenggara ditarik ke garis belakang. Benteng Mbesuka dan Tembusuh di Batukarang, dikuasai Belanda. Mujur atas dorongan para ibu dengan sorak sorai beralep-alep merupakan dorongan semangat tempur tetap tinggi. Pasukan Urung terpaksa membayar mahal dan tidak kurang dari 30 orang tertembak mati, seorang diantaranya perwira. Seusai pertempuran pasukan Urung menyingkir ke Negeri, 3 km dari Batukarang yang dipisah oleh Lau Biang yang bertebing terjal.
Walaupun pasukan Simbisa/Urung sudah berpencar, keesokan harinya ditetapkan Kuala menjadi daerah tempat berkumpul. Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran, maka pasukan Simbisa/Urung berangkat menuju Liren, Kuta Gamber, Kempawa, Pamah dan Lau Petundal sebagai basis pertahanan. Dijelaskan, bahwa daerah ini termasuk Dairi yang berbatasan dengan aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Tanah Karo. Medannya bergunung-gunung, lembah yang dalam dan terjal, kurang subur, berpenduduk jarang sehingga cocok menjadi basis gerillya tetapi lemah dalam dukungan logistik.
Tahun 1904 Kiras Bangun dan pasukannya mengadakan perang terbuka menghadapi Belanda di desa Lingga, Batu Karang, Negeri dan Liren, Tahun 1905 ke Aceh untuk bergabung dengan Pejuang Aceh melakukan gerilya dan sabotase pada saat Belanda membuka jalan Medan-Kotacane. Pada kesempatan lain Garamata berangkat ke Singkil dengan tujuan menemui teman seperjuangannya Sultan Daulat tetapi tidak ketemu. Tidak ada keterangan diperoleh selain Aceh Selatan dan Aceh Tenggara sudah dikuasai Belanda sehingga hubungan antara kedua pihak menjadi terputus. Perlu dijelaskan bahwa waktu hendak kembali ditengah jalan ketemu dengan marsuse Belanda, Garamata dapat mengelabuinya dengan menyamar sebagai pengail.
Dalam perjalanan pulang ke Lau Petundal, Garamata singgah di Lau Njuhar, tidak lama kemudian pasukan Belanda datang mengepung. Posisi Garamata dalam bahaya dan diatur bersembunyi dalam satu rumah. Sementara itu Garamata dipersiapkan menyamar seperti seorang perempuan yang baru melahirkan dengan muka disemburi pergi kepancuran, dengan demikian loloslah Garamata dari serangan Belanda. Pendudukan Belanda atas Batukarang dengan mengerahkan sebanyak 200 orang marsuse Belanda bersenjata lengkap ternyata belum memulihkan keamanan. Patroli Belanda tetap mendapat perlawanan walau tidak secara frontal.
Betapapun usaha yang diupayakan Belanda, untuk menangkap tokoh-tokoh Urung terutama Garamata tidak berhasil, sehingga semua rencana Belanda memperkuat kedudukannya seperti membuka jalan dari Kabanjahe ke Alas, mengutip blasting, menjalankan roda pemerintahan selalu terganggu dan tidak dapat dijalankan. Maka dikeluarkan opportinuteits beginsiel terhadap Kiras Bangun atau Garamata bersama pengikut-pengikutnya.
Mengingat banyaknya rakyat korban akibat tindakan marsuse Belanda yang semakin membabi buta seperti peristiwa di Kuta Rih disamping itu disadari bahwa pasukan tidak dapat bertahan lebih lama mengingat keadaan yang sudah parah, terutama disebabkan hubungan dengan Alas, Gayo, Singkil sudah tertutup, pada saat mana Belanda menawarkan opportinuteits maka Garamata bersama anak buahnya berunding untuk mengambil keputusan. Dengan pertimbangan prikemanusiaan dan untuk menghindari rakyat menjasdi korban yang lebih banyak, maka penawaran Belanda atas opportinuteits beginsiel, diterima dengan berat hati dan bertekad untuk menyusun kekuatan, sehingga pada suatu saat, dapat bangkit kembali mengusir Belanda. Ternyata Belanda tidak mentaati tawaran sendiri, karena Garamata tetap dihukum dalam bentuk pengasingan di salah satu tempat di perladangan Riung selama 4 tahun. Kiras yang juga dikenal dengan nama Garamata itu akhirnya dibuang ke Cipinang bersama kedua anaknya antara tahun 1919-1926. Kiras Bangun atau Garamata gugur pada tanggal 22 Oktober 1942.
Kiras Bangun atau yang oleh masyarakat Karo dikenal dengan sebutan Garamata (mata merah) merupakan tokoh adat Karo yang berjuang melawan penjajah Belanda pada tahun 1901-1905. Kiras Bangun memimpin lebih dari 3.000-an warga Karo yang menolak Tanah Karo dijadikan kawasan perkebunan oleh Belanda. Pasukannya terkenal dengan sebutan Pasukan Urung (kampung) karena dia mengorganisir beberapa kampung di Tanah Karo untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. ”Dia mungkin sedikit dari sosok pahlawan yang kepemimpinannya ditunjuk langsung oleh rakyat di Tanah Karo.
Filosofi Kiras Bangun yang turun-temurun dikenal oleh masyarakat Karo adalah ajarannya tentang pendidikan. Kiras Bangun mengajarkan agar kami harus menjadi orang yang cerdas jika tidak ingin dijajah bangsa lain. Ajaran seperti ini masih terasa sangat cocok untuk jadi pegangan hidup. Apalagi bangsa Indonesia saat ini secara ekonomi terjajah oleh bangsa-bangsa yang lebih maju. Secara resmi Kiras Bangun ditetapkan menjadi pahlawan nasional setelah melalui penelitian dari 13 tim ahli, di antaranya pakar sejarah Anhar Gonggong dan Taufik Abdullah.
Kiras Bangun yang meninggal dunia tahun 1942, meninggalkan keturunan anak dan cucunya yang mengamalkan falsapahnya di bidang pendidikan, sehingga keturunannya banyak yang sukses dalam bidang pendidikan, politik dan birokrat, diantaranya, anaknya sendiri Mayor Purn Payung Bangun, mantan Komandan Barisan Harimau Liar (BHL) di masa perjuangan kemerdekaan RI, Dr Ingan Raja Bangun (Alm), Prof. Dr. Iman Bangun (Guru Besar IPB), Ir.Berontak Bangun (Dosen ISTP Medan), Drs Aksi Bangun (Mantan anggota DPRD Sumut (1999-2004) dan Drs Umar Bangun, Mantan Kakanwil Kehakiman Sumut.