Djo - demikian nama panggilan akrabnya - memulai karier militernya di zaman Jepang. Selama 40 tahun menjalani masa kemiliterannya, peristiwa yang paling memiliki arti khusus baginya adalah Peristiwa Madiun (1948). Waktu itu sejumlah anggota Komisi Tiga Negara yang mengawasi perundingan Renville masih berada di Serangan.
Kapten Kartidjo dari Resimen 34 Kediri diperintahkan menyelamatkan mereka. Celakanya, justru ia sendiri dicegat Batalyon Mustafa yang pro Merah, lalu menjadi tawanan pasukan yang dipimpin PKI. Penjagalan sudah berlangsung dimana-mana. Kartidjo sendiri dengan truk dibawa kearah Kresek dilereng gunung Wilis. Di pagi buta Kapten Kartidjo berdiri dihadapan satu regu tembak. Djo hanya bisa berdoa dan mencari setiap kemungkinan untuk bisa meloloskan diri.
Peluru pertama berdentam dan Djo segera merubuhkan diri. Ia tidak tau kena atau tidak, tetapi yang terpikirkannya hanya menerjunkan diri ke lembah sedalam lima meter, dengan gaya seolah-olah telah mati sungguhan. Untung algojo tidak curiga. Tembakan reda, ia menemukan seorang haji yang selamat. Setelaah saling membuka tali pengikat, mereka berpisah. Menyelinap ke hutan jati, lalu ia menuju ke Kediri, jalan kaki dua hari dua malam.