Sayuti Melik anak dari Abdul Mu'in alias Partoprawito, seorang kepala desa di Sleman, Yogyakarta. Sedangkan ibunya bernama Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Dasar dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta. Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti Ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo tahun 1920, dia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda. Pada usia belasan tahun itu dia sudah tertarik membaca majalah Islam Bergerak. Perkenalannya yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926. Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh Belanda. Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti, dan terlibat dalam berbagai kegiatan pergerakan secara bersama yang akhirnya pada 19 Juli 1938 mereka menikah.
Pada tahun itu juga Mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu. Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan, Trimurti ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis. Saat itu Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti dan Sayuti Melik dapat hidup relatif tenteram dan Sayuti terus berada di sisi Bung Karno.
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Setelah selesai, dini hari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya. Naskah Proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh Jepang. Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar Teks Proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".
Setelah Indonesia Merdeka ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Tahun 1950 ia diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan '45 dan menjadi Wakil Cendekiawan. Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Soekarno. Namun, ketika Bung Karno berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan Nasakom, dialah orang yang berani menentang gagasan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Ia mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur "kom" menjadi "sos" (sosialisme). Ia juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS.
Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Ia menjadi anggota DPR/MPR, mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977. Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 pada umur 80 tahun setelah setahun sakit, dan dimakamkan di TMP Kalibata. Sayuti Melik menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).