Moewardi - Dokter Pahlawan Nasional Indonesia

Moewardi - Dokter Pahlawan Nasional IndonesiaDr. Moewardi (Pati, Jawa Tengah, 1907 - Surakarta, Jawa Tengah, 13 Oktober 1948) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Moewardi adalah seorang dokter lulusan STOVIA. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Selain itu Dia adalah ketua Barisan Pelopor tahun 1945 di Surakarta dan terlibat dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu. Di Solo, dr.Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk melawan aksi-aksi PKI. Pada peristiwa Madiun dia adalah salah satu tokoh yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain Gubernur Soeryo. Kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta. Namanya juga diabadikan sebagai sebuah nama jalan di jakarta.

13 September yang patut dikenang Alkisah pada tahun 1930 di daerah Tanah abang Jakarta ada seorang lelaki bernama Muwardi, yang terkenal sebagai Dokter Muwardi atau biasa disebut Dokter Gembel. Karena dokter itu senang bergaul dengan gembel daripada golongan atas. Golongan masyarakat yang kebanyakan sangat miskin sekaligus orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongan. Pernah karena diminta pertolongan untuk mengobati seorang gembel yang tinggal jauh dalam kampung dengan gang becek dan berlumpur yang hanya kering saat hujan reda.Meskipun hanya gembel, namun gembel tersebut adalah orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang luhur. Dia memandangi pakaian Muwardi yang masih bersih tak bernoda sedikit pun, “baru ganti itu !”, pikirnya. Sayang kalau ia harus jalan di lumpur. Air kotor dan lumpurnya tentu akan segera melekat pada sepatu dan celananya. “Tidak !”. “Jangan !” “Pak dokter harus tetap bersih, agar dapat segera mengunjungi orang sakit lainnya,” Akhirnya mau tidak mau, Muwardi digendong oleh si gembel. Sehingga Muwardi digendong di punggung si gembel dari jalan besar hingga ke rumah si sakit.

Demikian pula pulangnya kembali ke mobil. Begitulah kecintaan rakyat gembel kepadanya. Setiap kalender menunjuk tanggal 13 September, itu adalah tanggal yang patut dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia, sebab pada tanggal 13 September 1930 oleh prakarsa seorang pemuda Muwardi lahirlah kepanduan baru di Jakarta, sebagai penjelmaan dari bersatunya tiga organisasi kepanduan di Indonesia yaitu Pandu Kebangsaan, Pandu Pemuda Sumatra dan Indonesische Nationaal Padvinders Organisatie. Organisai kepanduan yang menjadi cikal bakal Pramuka itu bernama : Kepanduan Bangsa Indonesia. Delapan belas tahun sesudahnya tepat pada tanggal yang sama yaitu pada tanggal 13 September 1948. Dokter Muwardi berangkat ke rumah sakit Jebres dengan menggunakan kendaraan andong untuk melakukan operasi terhadap seorang pasien, seorang anak yang menderita sakit parah. Walaupun dilarang oleh anggota staf Barisan Banteng, Dokter Muwardi tetap berangkat. “Wis Yo Jeng!” (sudah ya Dik !). “Dag Pap !”, jawab istrinya, Soesilowati. Baru sampai di pintu depan ia kembali karena ada sesuatu yang ketinggalan, lalu berangkat lagi sambil berpamitan sekali lagi Wis yo Jeng !”. Istrinya heran dan sambil tertawa menjawab “Ah Pap, kok seperti penganten baru !”.

Soesilowati tentu tidak akan mengira bahwa kata-kata pamitan Muwardi yang dirasa lucu tersebut merupakan kata-kata terakhir dari suami tercinta. Sebab setelah itu, dokter yang penuh dedikasi itu tidak pulang lagi selama-lamanya, hilang tak tentu di mana. Sekarang orang, pengikut dan kawan seperjuangan Muwardi di seluruh Indonesia dalam berbagai organisasi organisasi dan partai. Hampir seluruhnya sudah meninggal. Namun, jika kepada mereka ditanya pendapat mereka tentang Muwardi, semua tentu akan menyatakan bahwa Dr. Muwardi adalah salah seorang pemimpin Indonesia yang telah hidup sederhana, berjuang secara konsekwen dan mati menyedihkan untuk rakyatnya !. Rasa kemanusiaan Muwardi yang besar pada masa itu kepada sesama patut menjadi cerminan dokter masa kini di Solo, agar tidak melakukan tindakan diskrimisasi terhadap manusia.

Related Posts:

  • Mangkunegara I atau Pangeran SambernyawaKanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja M… Read More
  • Katamso Darmokusumo - Pahlawan RevolusiBrigjen Anumerta Katamso Darmokusumo (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923 – meninggal di Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 42 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Katamso termasuk tokoh yang terb… Read More
  • Biografi Goesti Pangeran Harjo DjatikoesoemoGoesti Pangeran Harjo Djatikoesoemo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1 Juli 1917 – meninggal di Jakarta, 4 Juli 1992 pada umur 75 tahun) adalah mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat yang pertama (1948-1949) dan mantan Duta B… Read More
  • Biografi Pahlawan Usman Janatin bin H. Ali HasanSersan Dua KKO (Anumerta) Usman Janatin bin H. Ali Hasan (lahir di Dukuh Tawangsari, Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, 18 Maret 1943 – meninggal di Singapura, 17 Oktober 1968 pada umur … Read More
  • Ki Sarmidi Mangunsarkoro - Tokoh PendidikanKi Mangunsarkoro atau Sarmidi Mangunsarkoro (lahir 23 Mei 1904 – meninggal 8 Juni 1957 pada umur 53 tahun) adalah pejuang di bidang pendidikan nasional, ia dipercaya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada ta… Read More