Abdul Halim Majalengka - Ulama yang Toleran

Abdul Halim Majalengka - Ulama yang ToleranAbdul Halim atau K.H. Abdul Halim, lebih dikenal dengan nama K.H. Abdul Halim Majalengka (lahir di Desa Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, 26 Juni 1887 – meninggal di Majalengka, 7 Mei 1962 pada umur 74 tahun) adalah Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono Nomor: 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008. Seorang tokoh pergerakan nasional, tokoh organisasi Islam, dan ulama yang terkenal toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat antar ulama tradisional dan pembaharu (modernis). Atas jasa-jasanya Pemerintah Republik Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.

Kiai Abdul Halim putra K.H. Muhammad Iskandar, lahir dengan nama Otong Syatori. Ia merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad Iskandar dan Hj. Siti Mutmainah. Selain mengasuh pesantren, ayahnya juga seorang penghulu di Kawedanan, Jatiwangi, Majalengka. Sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Halim telah memperoleh pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar. Ayahnya meninggal ketika Kiai Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya. Pada umur 21 tahun, Kiai Halim menikah dengan Siti Murbiyah puteri K.H. Muhammad Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka). Pernikahan mereka dikaruniai tujuh orang anak. Seorang di antara cucunya yang aktif di berbagai organisasi Islam seperti sebagai pengurus BP4 Pusat, Wanita PUI, BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia), GUPPI (Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam) adalah Dra. Hj. Dadah Cholidah, M.Pd.I. Presidium BMOIWI periode (2015-2016).

Setelah banyak belajar di beberapa pesantren di Indonesia, Kiai Halim memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk melanjutkan mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di Mekah, Kiai Halim berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang menetap di Mekah dan menjadi ulama besar sekaligus menjadi Imam di Masjidil Haram. Selama menuntut ilmu di Mekkah, Kiai Halim banyak bergaul dengan K.H. Mas Mansur yang kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama dan Rais Am Syuriyah (Ketua Umum Dewan Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut setelah Kiai Hasjim Asy'ari meninggal pada tahun 1947. Kedekatan Kiai Halim terhadap kedua orang sahabatnya yang berbeda latar belakang antara pembaharu dan tradisional inilah yang membuatnya terkenal sebagai ulama yang amat toleran. Selain belajar langsung kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Halim juga mempelajari kitab-kitab para ulama lainnya, seperti kitab karya Syeikh Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad Rasyid Ridlo, dan ulama pembaharu lainnya. Selain itu Kiai Halim juga banyak membaca majalah al-Urwatul Wutsqo maupun al-Manar yang membahas tentang pemikiran kedua ulama tersebut.

Pada masa pendudukan Jepang, Abdul Halim diangkat menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam dewan perwakilan). Pada bulan Mei 1945, ia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembentukan negara. Dalam BPUPKI ini Abdul Halim duduk sebagai anggota Panitia Pembelaan Negara. Sesudah Republik Indonesia berdiri, Abdul Halim diangkat sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Selanjutnya ia aktif membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, Abdul Halim aktif membantu kebutuhan logistik bagi pasukan TNI dan para gerilyawan. Residen Cirebon juga mengangkatnya menjadi Bupati Majalengka.

Pada 1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan K.H.M Anwaruddin dari Rembang dan K.H. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada 1937 di Surabaya. Sesudah perang kemerdekaan berakhir, Abdul Halim tetap aktif dalam organisasi keagamaan dan membina Santi Asromo. Namun, seba­gai ulama yang berwawasan kebangsaan dan persatuan, ia menentang gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo, walaupun ia tinggal di daerah yang dikuasai oleh Darul Islam. la juga merupakan salah seorang tokoh yang menuntut pembubaran Negara Pasundan ciptaan Belanda. Dalam periode tahun 1950-an Abdul Halim pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat dan kemudian menjadi anggota Konstituante. K.H. Abdul Halim Ulama besar tanah Pasundan ini menghadap Ilahi 7 Mei 1962 dan dikebumikan di Majalengka dalam usia 74 tahun. “Meninggalkan harta bendanya diwakafkan untuk madrasah dan institusi pendidikan. Bahkan rumah pribadinya diberikan untuk PUI”, ujar Dadah.