
Selama di kampus ia aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yang mempertemukannya dengan perwakilan Universitas McGill yang sedang berada di Indonesia untuk mencari kandidat yang berminat dalam program pertukaran mahasiswa untuk kuliah di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Akhirnya ia terpilih dan mendapatkan beasiswa penuh untuk program pascasarjana di bidang foreign trade (perdagangan luar negeri) - suatu bidang utama yang menarik pada saat itu. Subyek tesisnya adalah analisis persyaratan perdagangan dengan studi kasus Indonesia dengan judul "Indonesian Terms of Trade after the Second World War". Sejak tahap itu ia menyadari betapa pentingnya sumber daya mineral dan bahan bakar fosil untuk perekonomian suatu negara seperti Indonesia. Setelah meraih gelar Master of Arts dari Universitas McGill pada tahun 1956, ia kembali ke Indonesia untuk mengambil program doktor ekonomi di UI, di mana ia bertemu dengan sekelompok ekonom berbakat dan mulai bekerja sama membahas ide-ide baru tentang perekonomian Indonesia. Pada tahun 1958 ia meraih gelar doktor ekonomi dari UI. Selain itu ia juga ditugaskan sebagai dosen Seskoad di Bandung, di mana salah satu muridnya adalah Soeharto.
Setelah Soeharto menjadi Presiden RI, Subroto dan kelompoknya diangkat sebagai penasehat bagi pemerintahan yang baru tersebut. Tugas pertama bagi para penasehat itu adalah mengembangkan cetak biru perekonomian Indonesia yang melahirkan Repelita.[4] Sejak itulah para penasehat ekonomi tersebut diangkat menjadi Menteri di mana Subroto sendiri mula-mula diangkat sebagai Menteri Transmigrasi dan Koperasi (11 September 1971 - 28 Maret 1973), selanjutnya sebagai Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi (28 Maret 1973 - 29 Maret 1978), dan Menteri Pertambangan dan Energi selama dua periode kabinet (29 Maret 1978 - 21 Maret 1988). Pada periode 31 Oktober 1984–9 Desember 1985 ia terpilih menjadi Presiden Konferensi OPEC. Pada tahun 1988, Subroto mendapat kepercayaan menjadi Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang berkedudukan di Wina, Austria. Dari Wina, Austria ini ia masih sempat memikirkan nasib anak bangsa yang masih terbelit kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan keterpurukan. Kondisi ini mendorong Subroto dan sekretarisnya, Rizal Sikumbang mendirikan Yayasan Bina Anak Indonesia (YBAI) yang concern di bidang pendidikan. Di usia senja ia terus berkarya dan mengabdi.